Selasa, 06 Maret 2012

Pembangunan Kawasan Gedebage Untuk PLTSa

- Pembangunan Kawasan Gedebage Untuk PLTSa

E-mail Cetak PDF
PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA SAMPAH (PLTSa)
Amanat Perda No.2/2004 tentang RTRW, pada pertengahan 2005 pemkot mulai melakukan studi kelayakan pembangunan kawasan Gedebage. Pembangunan kawasan ini merupakan upaya percepatan pengembangan kawasan timur Kota Bandung. Dengan demikian, diharapkan dapat tercipta kondisi lingkungan yang kondusif bagi pemerataan aktivitas kota.
Fasilitas-fasilitas yang akan dibangun di Kawasan Gedebage seluas 526,27 hektar, yang diharapkan dapat menjadi pemicu kawasan secara keseluruhan meliputi pembangunan terminal terpadu, sarana olahraga, pasar hewan, akses tol, sarana perdagangan, hotel dan sarana penunjang lainnya. Sayangnya, niat untuk mengembangkan kawasan timur Kota Bandung ini tak dilakukan sepenuh hati. Pasalnya, berbagai fasilitas yang menjadi magnet keramaian seperti pusat perkantoran, pusat perbelanjaan, dan pusat hiburan tetap dibangun di kawasan inti kota.
Hal itu, menjadikan beban kawasan inti kota terus bertumpuk. Kemacetan, pedagang kaki lima, pembangunan yang menyalahi ketentuan, anak jalanan, lingkungan yang kumuh, menjadi pemandangan sehari-hari di pusat kota. Pemerintah pun menuai panen dari benih permasalahan yang ditanamnya sendiri.
Satu-satunya jalan untuk segera keluar dari lingkaran setan khas kota metropolitan ini adalah menebar pusat kegiatan keluar wilayah kota. Ini adalah langkah mendesak yang tidak bisa lagi ditunda ataupun ditawar. Namun, lagi-lagi pemerintah kota bersiap untuk tidak konsisten, dengan mengajukan revisi Perda RTRW. Revisi, Perda tersebut dikatakan mendesak demi tetap terlaksananya pembangunan. Jika pembangunan tersebut diartikan untuk pengembangan kawasan timur Kota Bandung, mungkin lain persoalan. Tapi, ini justru untuk melegitimasi pembangunan di kawasan barat Kota Bandung. Padahal, pengembangan ke kawasan timur Kota Bandung ini sudah diingatkan sejak puluhan tahun lalu oleh Komisi Karsten yang dipimpin Meneer E.H Karsten.
Salah satu masukannya adalah bahwa West Bandoeng (Bandung Barat) dan Oost Bandoeng (Bandung Timur) telah berkembang dengan tidak seimbang. Perkembangan kota lebih berat ke sebelah barat. Oleh karena itu, disarankan agar segera diambil langkah untuk menyebarkan pusat-pusat kegiatan penduduk secara seimbang ke segenap penjuru kota.[13] PADA era keemasan Bandoeng Tempoe Doeloe, kita mengenal taman-taman besar dan indah seperti Taman Maluku (Molukkenpark), Taman Pramuka (Oranjeplein), Taman Citarum (Citaroemplein), Taman Ganeca (Ijzermanpark) dan Taman Nusantara (Insulindepark). Pada masa tersebut, Bandung adalah kota taman.Kini, sebagai salah satu upaya mengembalikan wajah Bandung, dilakukan sejumlah pembenahan atas taman kota. Mimpi terbesar dari penataan itu tentunya berharap Bandung kembali menjadi kota taman.
Adapun potensi kawasan Gedebage sebagaimana yang tercantum dalam Rencana Induk Gedebage adalah sebagai berikut:[14]
1. Adanya rencana pengembangan kota ke timur (WP Ujung Berung dan Gedebage)
2. Kawasan perencanaan masih luas (±712 ha), bersifat rural dengan intensitas rendah sehingga pengembangan kawsan baru relatif lebihmudah dibandingkan dengan kawasan yang sudah terbangun (bersifat urban).
3. Aksebilitas yang tinggi di kawasan perencanaan baik dari jalan utama, akses dari jalan tol, serta aksesibilitas kereta api.
4. Fasilitas kawasan yang sudah ada di sekitar kawasan pengembangan yaitu adanya dry port (terminal peti kemas) di kota Bandung yang berskala pelayanan lokal, regional dan nasional.
5. Normalisasi sungai juga merupakan potensi yang dimiliki kawasan pengembangan sehingga keberadaan sungai dapat dipergunakan sebagai penyelesaian dari permasalahan banjir. Keberadaan sungai dapat diekspose menjadi kawasan waterfront city.
Adapun persoalan kawasan adalah sebagai berikut:
1. Pusat Primer Gedebage berada pada lokasi cekungan danau purba Bandung dengan kondisi geologi yang buruk (tanah lempung muda dengan kedalaman kurang lebih 70 m), dimana air tidak dapat meresap ke dalam; rentan terhadap bahaya gempa; kondisi air yang tidak cukup sehat (bau dan kotor); sulitnya penyediaan air genangan/banjir.
2. Terdapat beberapa ijin lokasi yang tidak serasi dengan rencana pengembangan Pusat Primer Gedebage tersebut di atas.
3. Adanya persoalan drainase yang menyebabkan permasalahan genangan/banjir.
4. Kurangnya sarana persampahan baik TPS dan TPA.
5. Tidak meratanya penyebaran penduduk yang membuat distribusi fasilitas di kawasan tidak merata.
6. Tidak tersedianya fasilitas parkir yang memadai sehingga kendaraan parkir secara on street (on street parking) di jalan-jalan kawasan utama.

B. Rencana Pembangunan PLTSa
Rencana Kota Bandung untuk mengembangkan wilayah Bandung Timur dengan pusat aktivitas berada di wilayah Gedebage dimaksudkan untuk mengurangi konsentrasi ke pusat Kota Bandung. Hal ini merupakan langkah yang strategis. Pengembangan wilayah Gedebage diharapkan mampu mengurangi persoalan kemacetan lalulintas dan yang lainnya. Prioritas pembangunan yang direncanakan di Wilayah Bandung Timur adalah pembangunan terminal terpadu, sarana olah raga, waduk pengendalian banjir, pasar hewan dan akses Tol Gedebage. Menurut hasil studi sosial ekonomi masyarakat wilayah Gedebage; bahwasanya masyarakat asal Gedebage tidak berkeberatan dengan adanya rencana pengembangan wilayahnya.
Masyarakat Gedebage berharap untuk dilibatkan dalam pembangunannya; dalam pasca pembangunan masyarakat Gedebage berharap adanya keterlibatan langsung dalam aktivitas perekonomian di wilayahnya, diantaranya aktivitas jasa, perdagangan, transportasi, dan kegiatan yang lainnya yang bisa memberikan nilai kesejahteraan (Lemlit Unpad, 2001)
Antisipasi masuknya pembangunan di wilayah Gedebage (Social impact assesment) adalah adanya percepatan berkembangnya wilayah tersebut, dengan ditandai oleh adanya perubahan peruntukan lokasi; dari areal pertanian menjadi areal perkotaan (Built up area). Gambaran adanya kecenderungan perubahan wilayah yang menjadi nilai urgensi dari kajian sosial pengembangan wilayah Gedebage. Asumsi yang berkembang saat ini adalah perubahan peruntukan lahan akan diikuti oleh perubahan kebiasaan masyarakat (Social Habit) dalam kegiatan mata pencahariannya. Tentu bagi masyarakat Gedebage yang semula bermata pencaharian bertani menjadi sektor perkotaan. Gambaran dampak sosial pembangunan ini adalah penting untuk dilakukan maping sosial bagi masing-masing pembangunan tersebut seperti (1) sejauhmana dampak sosial yang akan terjadi jika di Gedebage di bangun waduk pengendali Banjir; (2) sejauhmana dampak sosial yang akan terjadi jika di Gedebage di bangun Akses Tol; (3) sejauhmana dampak sosial yang akan terjadi jika di Gedebage di bangun sarana olah raga; (4) sejauhmana dampak sosial yang akan terjadi jika di Gedebage di bangun pasar hewan; (5) sejauhmana dampak sosial yang akan terjadi jika di Gedebage di bangun sarana olah raga. Selanjutnya berapa jumlah penduduk yang secara langsung akan alih profesi akibat dari pembangunan tersebut. Tentunya pembangunan wilayah Gedebage ini memiliki dampak yang sangat luas, sehingga pendekatannya sangatlah tepat dilakukan secara multi-aspek. Akan tetapi yang tidak kalah penting dalam kegiatan ini adalah mempersiapkan langkah-langkah kongkrit untuk menyongsong perubahan di wilayah Gedebage.
Rencana pembangunan Gedebage diarahkan untuk mewujudkan:
A. Infrastruktur berstandar Internasional, diantaranya:
    1. Penyediaan Listrik;
    2. Pelayanan Air Bersih & Air Kotor;
    3. Pelayanan Informasi, Komunikasi & Teknologi;
    4. Jaringan jalan & sistem drainase;
    5. Sistem Transportasi & Terminal Terpadu;
    6. Penanganan sampah,
    7. Kawasan Perdagangan & Jasa, seperti: Hotel, mall, pusat belanja, dll;
Fasilitas Sosial dan Fasilitas Umum seperti:
    1. Masjid & rumah ibadah lainnya;
    2. Kantor Polisi
    3. Kantor Pemadam Kebakaran;
    4. Taman Rekreasi;
    5. Kompleks Pendidikan;
    6. Kompleks Pelayanan Pemerintah & Rumah Sakit;
Adapun kegiatan prioritas kota Bandung adalah:
1. Pembangunan Stadion Utama Gedebage;
Fasilitas olah raga utama untuk “Bandung Berprestasi 2008”.
2. Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa),
Solusi berkelanjutan untuk penanganan sampah kota.
3. Infrastruktur Pendukung, mis. Akses Jalan, Drainase, dan Kolam Retensi.
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah adalah
C. Dasar Hukum Kawasan PLTSa
Dasar Pertimbangan Pemilihan lokasi di Kawasan Gedebage untuk Pembangunan PLTSa adalah dasar hukum pembangunan PLTSa Gedebage tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandung sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 03 Tahun 2006;
- Pasal 31 ayat (3)
Pelayanan minimal pada Pusat Primer Gedebage sebagaimana dimaksud Pada ayat (1) pasal ini adalah:
a. pendidikan: perguruan tinggi dan perpustakaan;
b. kesehatan rumah sakit tipe B dan rumah sakit gawat darurat;
c. peribadatan: masjid wilayah dan tempat peribadatan lainnya;
d. bina soisal: gedung pertemuan umum;
e. Olahraga/rekreasi: kompleks olah raga dengan gelanggang olah raga, gedung hiburan, dan rekreasi, bioskop, gedung kesenian, taman kota, gedung seni tradisional;
f. Pelayanan pemerintahan: kantor pemerintahan, kantor pos wialyah, kantor Kodim, kantor telekomunikasi wilayah, kantor PLN wilayah, kantor PDAM wilayah, Kantor Urusan Agama, Pos pemadam kebakaran ;
g. Perbelanjaan/niaga: pusat perbelanjaan utama, pasar, pertokoan, pusat belanja, bank-bank, perusahaan swasta, dan jasa-jasa lainnya;
D. Prosedur dan Syarat Pembangunan PLTSa
Kebijakan Pemerintah Kota Bandung untuk membangun pabrik pengolahan sampah menjadi energi listrik adalah salah satu upaya dalam mengatasi dan menyelesaikan masalah persampahan di Kota Bandung yang semakin sulit dan berat. Dengan upaya ini, diharapkan nantinya kita tidak lagi tergantung kepada salah satu Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang ada di wilayah luar Kota Bandung.
Rencana PLTSa yang akan dibangun telah melalui proses studi kelayakan (termasuk di dalamnya Analisa Dampak Lingkungan; AMDAL) yang dilakukan melalui kerjasama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB). Sedangkan mengenai rencana lokasi pembangunannya, hal tersebut didasarkan pada Rancana Detail Tata Ruang (RDTR) Kota Bandung. Dalam pembangunan PLTSa di Gede Bage, BPLH sebagai Ketua Tim Penguji AMDAL berpedoman pada:
  1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
  2. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL);
  3. Peraturan Pemerintah RI No. 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara;
  4. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 8 Tahun 2006 Tentang Pedoman Penyusunan AMDAL;
  5. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 11 Tahun 2006 Tentang Jenis Rencana Kegiatan/Usaha Yang Wajib Dilengkapi dengan AMDAL;
  6. Keputusan Kepala Bappedal No. 8 Tahun 2000 Tentang Keterlibatan Masyarakat dan Keterbukaan Informasi dalam Proses AMDAL;
Menurut Wahjoe Witjaksono dalam makalahnya sebaiknya Pemerintah Kota Bandung memperhatikan langkah-langkah sebagai berikut:[15]
1. Ada jaminan bahwa tidak ada sampah yang tercecer di jalan ketika terjadi pengangkutan dari TPS ke PLTS.
2. Mengganti armada sampah menjadi armada sampah yang modern dan tertutup.
3. Memberi penyuluhan kepada masyarakat cara-cara memisahkan sampah sehingga mempermudah dalam pemrosesan.
4. Mencegah pemulung masuk ke lokasi PLTS dan menjadikan PLTS adalah area tertutup bagi masyarakat yang tidak berkepentingan.
5. Membuat pengolahan limbah yang memenuhi kesehatan masyarakat sekitar PLTS.
6. Jika kesepakatan tidak dipenuhi maka masyarakat bisa mengajukan penutupan PLTS.
Kalau semua syarat dan ketentuan dipenuhi dan diawasi bersama, maka PLTS akan menjadi proyek yang berhasil dan masalah sampah di Kota Bandung dan sekitarnya akan bisa teratasi.
Selanjutnya setiap pembangunan akan menimbulkan resiko, baik dampak positif maupun negatif, termasuk pembangunan PLTSa. Oleh karena itu, PLTSa Gedebage juga wajib dilengkapi AMDAL yang akan dinilai oleh Tim Komisi AMDAL (terdiri dari instansi terkait, masyarakat terkena dampak langsung kegiatan, LSM, Perguruan Tinggi, dan pakar lingkungan) sehingga PLTSa diharapkan mampu menjadi tempat pengelolaan sampah dengan tetap mempertahankan kualitas dan kelayakan lingkungan.
Sanitary Landfill dan Kompos
Kota Bandung mengalami permasalahan sampah karena tidak adanya ruang untuk pembuangan akhir (landfill). Solusinya, sampah harus dimusnahkan. Proses pemusnahan sampah dengan mengandalkan pembusukan alami oleh bakteri pada landfill akan memakan waktu yang cukup lama. Selain itu akan dihasilkan gas metan (50 – 60%), CO 2 (40–50%), yang dapat menimbulkan efek pemanasan global, gas-gas beracun lainnya seperti NOx, Sulfur bahkan gas radioaktif tritium.
Selain itu landfill akan mengeluarkan bau dan air lindi yang mencemari air tanah dan sungai. Karena menimbulkan banyak polusi dan masalah, Uni Eropa pada tahun 1999 mengeluarkan ketentuan ( Directive no. 1999/31/EG) yang melarang pembuangan sampah organik dan sampah berbahaya ke landfill. Sampah organik harus diolah dulu secara mekanikal, biologi, dan atau termal (MBT) sebelum dibuang ke landfill, sehingga yang boleh dibuang ke landfill adalah abu hasil pembakaran atau kompos. Untuk memenuhi target yang ditetapkan oleh ketentuan tersebut, negara-negara Eropa mengubah cara pengelolaan sampah mereka dari landfill, ke teknologi yang lebih bersih yaitu PLTSa pembakaran langsung.
Saat ini sekitar 409 PLTSa pembakaran langsung beroperasi di Eropa Barat. Adapun pemanfaatan sampah menjadi kompos, selama ini terbukti kurang efektif, selain proses pembuatannya lama (sehingga tidak dapat mengimbangi laju produksi sampah), juga diperlukan lahan yang luas. Apalagi sampah yang dihasilkan di Kota Bandung cukup besar, yaitu ± 500 ton/hari. Selain itu penggunaan kompos untuk media tanaman akan tersaingi oleh limbah biomasa lain yang lebih seragam dan lebih bersih, seperti sekam padi, limbah kayu dan dedaunan dari perkebunan dan hutan, limbah kelapa sawit, limbah tebu, limbah kelapa, dsb yang jumlahnya di Jawa Barat saja mencapai jutaan ton per tahun. Kompos dari sampah kota yang sudah tercampur dengan komponen lain, sangat tidak dianjurkan untuk digunakan pada tanaman pangan karena mengandung racun dan logam berat. Hal-hal tersebut menyebabkan pabrik kompos dari sampah kota dalam skala besar saat ini belum dapat dioperasikan secara komersial. Sebaliknya PLTSa dengan pembakaran langsung memusnahkan sampah dengan cepat dan efektif, dan menghasilkan listrik yang hasil penjualannya dapat digunakan untuk menutupi sebagian biaya operasional.
Perubahan pengolahan sampah dari landfill ke PLTSa pembakaran langsung diakui dapat mengurangi emisi gas-gas rumah kaca (Pengakuan dan metoda perhitungannya tercantum dalam dokumen UNFCCC nomor AM0025). Dengan demikian pembangunan PLTSa Gedebage sejalan dengan Bali Roadmap, dan merupakan salah satu usaha untuk mencegah terjadinya perubahan iklim.
Menurut EcoSecurity, konsultan CDM yang berbasis di Eropa, dengan adanya PLTSa Gedebage dapat dicegah minimal 150.000 ton CO 2 eq emisi pertahun.
Dioksin
Dioksin adalah senyawa yang terbentuk dari adanya karbon, hidrogen, oksigen, khlor dan panas. Oleh sebab itu sebenarnya setiap hari kita terpapar oleh dioksin dari hasil pembakaran kendaran bermotor, pembakaran sampah di rumah-rumah, kebun, TPS dan TPA, pembakaran sate, api ungun, kebakaran hutan, PLTU, tumpukan kompos, tumpukan sampah oganik yang membusuk, dsb. Manusia bisa teracuni Dixon melalui makanan utamanya susu dan daging yang tercemar dioksin, dan kecil kemungkinan melalui pernapasan atau kontak melalui kulit. Dioksin tidak larut dalam air dan sangat kuat terikat dengan padatan, oleh sebab itu dioksin dapat dikeluarkan dari gas buang dengan penyaring debu. Dioksin terikat kuat dalam tanah, dan tidak mencemari air tanah. Disungai dan danau, dioksin akan terikat dalam lumpur dan endapan di dasar. Karena tidak larut dalam air, dioksin sulit diserap oleh tanaman. Ternak bisa terpapar dioksin apabila memakan makanan yang mengandung dioksin kadar tinggi dan laju asupan lebih besar dari laju pengeluaran dioksin melalui feces.
Dioksin dapat dihasilkan dari hasil pembakaran komponen sampah yang mengandung Khlor seperti kertas, PVC, dan peralatan elektronik pada temperatur di bawah 400º C. Sampah di Bandung dan di Indonesia pada umumnya terdiri dari 60% sampai 70% bahan organik; sebagian besar plastik, kertas dan komponen yang mengandung khlor sudah diambil oleh para pemulung.
Dengan komposisi sampah seperti ini semua calon vendor PLTSa Gedebage tidak menganggap dioksin sebagai masalah pencemaran. Berbeda dengan incinerator yang telah digunakan lebih dari 30 tahun yang lalu, pembakaran dilakukan di atas temperatur 850ºC dan dilengkapi dengan pengolahan gas racun sehingga kadar Dioksin dan gas beracun lainnya yang teremisi ke udara lebih rendah dari PLTU Batu Bara. Sampah akan terbakar tanpa bantuan bahan bakar tambahan. Namun demikian, untuk menjaga temperatur pembakaran di atas 850º C, tungku pembakaran dilengkapi dengan burner berbahan bakar minyak. Pada keadaan normal, burner hanya beroperasi pada waktu start up dan shut down saja . Setelah digunakan lebih dari 20 tahun diseluruh dunia belum ada korban pencemaran dioksin dan gas beracun lainnya pada manusia dari PLTSa. Kebijakan Pemerintah Kota Bandung untuk membangun pabrik pengolahan sampah menjadi energi listrik adalah salah satu upaya dalam mengatasi dan menyelesaikan masalah persampahan di Kota Bandung yang semakin sulit dan berat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar